Skandal Seonggok Tanah Urug : Polres Tapin Jerat Pekerja Perumahan Pakai UU Minerba

Tanah urug di Komplek Anugerah Tapin Regency dipasang garis polisi oleh Polres Tapin.

Roni (42) dan Umar (42) warga Kabupaten Tabalong yang bekerja untuk perusahaan pengembang perumahan bersubsidi Anugerah Tapin Regency di Kabupaten Tapin dijerat polisi dengan UU Minerba. Seonggok tanah urug di perumahan ini jadi dasar Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Tapin, Polda Kalimantan Selatan menangkap dua buruh ini.

Roni adalah ayah dari dua orang anak. Sosoknya, adalah pencari nafkah. Sedangkan Umar adalah bujangan yang menjadi andalan keluarga untuk memenuhi kebutuhan orang tua yang sakit.

Sampai hari ini, mereka sudah 60 hari lebih mendekam di tahanan polisi. Dua orang tulang punggung keluarga ini pun tak bisa lagi mencari nafkah. Saat ini proses hukum masih berjalan, perjuangan menuntut bebas pun dilakukan, melalui : praperadilan.

Intinya, mereka dituduh menjual tanah urug di lokasi kerja itu. Senin 14 April mereka ditangkap Satreskrim Polres Tapin. Senin 5 Mei baru lah Polres Tapin merilis kasus ini dan mengundang sejumlah wartawan untuk mempublikasikan.

Polisi menuduh sopir dan operator alat berat di lokasi perumahan ini sudah tiga kali melakukan transaksi jual beli tanah urug. Mereka diringkus, melalui operasi tangkap tangan.

“Setelah didalami, aksi jual tanah uruk ilegal itu sudah beberapa kali dilakukan dengan harga Rp200 ribu per truknya,” ucap Kasat Reskrim Polres Tapin AKP Galih Putra Wiratama, Senin (5/5).

Jerat UU Minerba

Polres Tapin saat konferensi pers menghadirkan Roni dan Umar terkait kasus tanah urug.

Asal tau saja. Perumahan ini memiliki total lahan sekitar dua hektar. Seonggok tanah urug itu adalah kumpulan tanah permukaan yang disimpan saat dilakukan tahapan awal penataan ruang area perumahan. Tanah itu, tak untuk dijual karena digunakan lagi untuk mengisi pondasi sejumlah rumah. Sesederhana itu.

Dengan adanya dugaan jual beli yang disangkakan polisi. Roni dan Umar dijerat dengan UU Minerba : diperlakukan sama bak pelaku pertambangan ilegal.

Kasat Reskrim Polres Tapin AKP Galih Putra Wiratama mengatakan berdasarkan UU Minerba tanah urug itu masuk ke dalam golongan komoditas batuan atau dikategorikan sebagai mineral batuan non logam.

“Dalam kasus tanah urug tersebut para pelaku melanggar pasal 158 jo pasal 35 UU Minerba,” ujar Kasat Reskrim Polres Tapin AKP Galih, Kamis (13/6).

Galih mengatakan pasal itu dibidikan karena Roni dan Umar tak mempunyai ijin untuk aktivitas pertambangan. “Para pelaku tidak mempunyai perijinan dalam hal aktivitas penambangan tanah urug. Seharusnya memiliki perijinan berupa surat ijin penambangan batuan dan atau ijin usaha pertambangan batuan yang termaktub dalam pasal 35 UU Minerba,” ujarnya.

Jebakan “Batman” & Dugaan Kesewenangan

Suasana praperadilan kasus tanah urug di Pengadilan Negeri Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Perjuangan menuntut hak keadilan atas nama Roni dan Umar menemukan titik terang. Permohonan praperadilan diterima. Kasus itu kini bergulir ke Pengadilan Negeri Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Selasa (03/6), pertemuan pertama dimulai, namun pihak Polres Tapin tak hadir. Kemudian, dijadwalkan hari ini Rabu (11/6), ke dua pihak hadir, dipimpin Hakim Shelly Yulianti. Pihak Roni dan Umar diberikan kesempatan : menyampaikan semua pembelaan.

Pengacara Roni dan Umar, Hartinudin, dari Kantor Hukum Hartin & Partners membeberkan sejumlah kejanggalan pada proses hukum. Di antaranya, ia menduga ada siasat untuk menjebak kedua tersangka. Juga, proses atau prosedur penetapan tersangka yang cacat demi hukum.

“Sementara, ada tiga hal yang kita permasalahkan : penangkapan, penetapan status tersangka dan proses penahanan,” ujarnya usai sidang siang tadi di Pengadilan Negeri Rantau.

Dalam keterangan kronologis yang disodorkan Hartinudin kepada hakim, terkuak peristiwa pada 14 April yakni saat Roni dan Umar tertangkap.

Siang itu, Roni dan Umar bekerja seperti biasa. Agendanya mengisi tanah urug ke pondasi rumah yang mau dibangun di komplek Anugerah Tapin Regency di Jalan Terantang, Kabupaten Tapin.

Pukul 14:00 WITA datanglah orang tak dikenal ingin membeli tanah dan meminta diantarkan ke luar komplek. Namun, ditolak. Sejurus kemudian orang tak dikenal itu, memakai dalih lain : ia meminta mereka mengantar tanah ke lokasi lain, tempatnya hanya berjarak 100 meter. Masih dalam area perumahan Anugerah Tapin Regency ini.

“Orang tak dikenal ini mengaku bahwa rumah yang dituju itu adalah rumah adiknya,” ujar Hartinudin.

Setelah dicek, lokasi yang diminta yakni di halaman garasi di samping rumah. Roni dan Umar pun memberikan saran, agar memakai sirtu (pasir batu) dibandingkan tanah urug yang potensi merusak estika lingkungan rumah.

Namun, orang tak dikenal itu memaksa. Tanpa, memasang curiga di satu sisi memenuhi kewajiban kerja untuk kostumer perumahan, mereka mengantar tanah urug itu. Tanah ini ditumpahkan di badan jalan. Tepat di depan rumah. Hanya sebatas itu.

Kemudian, orang tak dikenal ini menyerahkan uang ke Umar namun ditolak. Kemudian berpindah ke Roni, sembari menyerahkan uang dengan narasi sebagai upah angkut. Uang pun diterima dengan nominal Rp300 ribu.

“Saat Roni menerima uang, orang tak dikenal ini mengeluarkan handphone dan mengambil gambar Roni yang memegang uang. Dengan dalih sebagai bukti kepada adiknya bahwa telah membeli tanah untuk garasi,” ujar Hartinudin pejuang buruh ini.

Urusan selesai. Tak berselang lama, kedua buruh ini beranjak menuju ke lokasi kerja awal di area dalam perumahan itu. Namun, apes. Di tengah perjalanan polisi datang menyetop. Seperti drama yang sudah direncanakan.

Singkat cerita, keduanya digiring menuju Polres Tapin untuk dilakukan pemeriksaan beserta satu unit truk nomor polisi DA 8307 HG.

“Ada satu pekerja lagi yang dibawa ke Polres Tapin, namanya Yohanes. Saat ditangkap ia berada di basecamp, sedang sakit kepala. Namun, setelah diperiksa ia dilepaskan karena disebut tak terbukti terlibat,” ujar Hartinudin.

Hartinudin menerangkan, pada pukul 22:27 WITA, pihak kepolisian memanggil Direktur PT Anugerah Berkah Bersama yakni Henry Lubis melalui pesan WhatsApp.

Esok harinya, Selasa (15/4) Lubis memenuhi panggilan itu : untuk diperiksa di ruang Tipidter, turut disambut Kasat Satreskrim Polres Tapin AKP Galih. Lubis dicecar sejumlah pertanyaan soal anak buahnya yang ditangkap hingga diminta mengenai dokumen perizinan perusahaan.

Setelah dialog panjang. Pihak kepolisian menyatakan akan menindak secara normatif. Usai memenuhi agenda itu, lalu Lubis dipersilahkan untuk pulang.

Pada tanggal 19 April, Lubis kembali dipanggil diminta sebagai saksi atas kasus yang menimpa usaha dan anak buahnya itu.

Pada sidang praperadilan ini, Hartinudin menuding pihak kepolisian cacat secara hukum untuk menetapkan status tersangka dan penahanan terhadap Roni dan Umar.

“Tiga hari setelah penangkapan (17 April). Barulah surat penetapan tersangka dan penahanan terhadap Roni dan Umar diberikan oleh pihak Polres Tapin kepada pihak keluarga. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap prosedur hukum dan asas legalitas dalam sistem peradilan pidana berakibat penangkapan tidak sah,” ujarnya.

Kasat Reskrim Polres Tapin AKP Galih Putra Wiratama tak menampik jebakan batman yang dilakukan itu. Ia bilang itu satu keharusan. “Undercover buy pasal 3 ayat ( 1 ) dalam perkaba 1 tahun 2022,” ujarnya.

Dikatakannya, undercover buy adalah pelaksanaan penyelidikan yang dilakukan untuk mengamankan secara holistik barang bukti dan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.

“Yang mana pada kegiatan undercover buy tersebut berdasarkan surat perintah tugas dan kemudian membuat laporan hasil pelaksanaan,” lanjutnya.

Pada konteks, Roni dan Umar. AKP Galih mengatakan apabila tak dilakukan siasat itu maka potensi alur tindak pidana pembelian tanah urug tersebut terputus. “Tentunya akan menyulitkan pada saat pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku,” ujarnya.

Menyoal terkait, proses penetapan tersangka dan penahanan yang dituding cacat secara hukum : Galih tak merespon.

Bebaskan, Atas Nama HAM

Hartinudin bilang, jika laporan dibuat setelah penangkapan, maka tidak ada dasar hukum saat penangkapan dilakukan. Sebab itu penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap Roni dan Umar menjadi : ilegal atau sewenang-wenang.

“Maka, atas segala tindakan polisi melakukan : penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, serta penyitaan barang dan penggeledahan atas diri tersangka dengan sendirinya menjadi tidak sah,”

“Sehingga sangat layak hakim pemeriksa perkara ini untuk memutuskan bahwa penangkapan, surat penetapan tersangka, surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan, surat perintah penyidikan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara ini tidak sah menurut hukum, oleh karena itu kedua tersangka : harus dibebaskan,” terangnya.

Memikirkan nasib dua buruh ini. Yang sejatinya adalah petani – pekerja serabutan. Cukup menyita perasaan Hartinudin.

“Terlepas dari segala hal. Perlu diingat. Ada potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam perkara ini. Dalam hak asasi Roni dan Umar sangat dirugikan, karena penangkapan tanpa dasar hukum. Jelas, kita bisa mengkategorikan ini adalah bentuk pelanggaran HAM, mereka ditangkap tanpa alasan yang sah dan cacat prosedural,” ucapnya.

Catatan, saat ini proses praperadilan masih berlanjut di Pengadilan Negeri Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

 

Penulis, Fauzi Fadilah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *