1 Maret Hari Tanpa Diskriminasi : Nasib Warga Binaan Pemasyarakatan di Lingkungan Sosial

Adil Sejak Dalam Pikiran : Warga Binaan Pemasyarakatan Rutan Kuala Kapuas juga anusia. Sama, ciptaan Tuhan seperti kita.

Arsip: warga binaan pemasyarakatan di Rutan Rantau menjalankan ibadah. Muhammad Fauzi Fadilah (2022)

 

Hari Tanpa Diskriminasi adalah momen penting yang mengingatkan kita akan pentingnya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu, termasuk warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Indonesia. 

Oleh, Muhammad Fauzi Fadilah

Sering kita dengar, WBP kerap kali menghadapi stigma dan diskriminasi setelah menjalani masa hukuman, sehingga sulit untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Padahal, mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan adil, tanpa diskriminasi, serta kesempatan untuk memperbaiki diri.

Di lingkungan sosial masyarakat, diskriminasi terhadap WBP sering muncul dalam berbagai bentuk misalnya perlakuan yang tidak setara, penolakan pekerjaan, hingga pengucilan sosial. Hal ini memperburuk kondisi mereka yang sudah menghadapi tantangan besar dalam reintegrasi sosial.

Peringatan Hari Tanpa Diskriminasi ini mungkin saja bisa menjadi refleksi kita sebagai manusia. Pengingat untuk menanggalkan stigma negatif dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua, termasuk bagi mantan narapidana.

Masyarakat perlu diberdayakan dengan informasi yang benar mengenai hak-hak WBP dan pentingnya dukungan untuk reintegrasi mereka. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan berkeadilan bagi semua anggotanya.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa mereka yang telah menjalani hukuman berhak untuk memulai hidup baru dan berkontribusi positif kembali kepada masyarakat.

Memanusiakan Manusia 

Arsip : Kepala Rutan Kuala Kapuas Daniel Kristianto mengajarkan teknik sablon kepada seorang warga binaan pemasyarakatan. Muhammad Fauzi Fadilah (2025).

 

Hari ini, penulis mengingat kembali pengalaman sebagai wartawan di Kalimantan Selatan saat berkawan akrab dengan aktivitas mereka : Rutan Kelas IIB Rantau dipimpin Andi Hasim hingga Lapas Kelas IIB Banjarbaru era Amico Balalembang.

Mendengarkan cerita mereka serta melihat langsung, bisa terbayang tantangan maupun seni pendekatan seperti apa yang dihadapi di lapangan. Jelas, bukan hal yang mudah untuk mendisiplinkan apalagi memberdayakan masyarakat yang punya problematika hidup di dalam penjara itu.

Kemarin, penulis menyaksikan lagi aktivitas dan perjuangan ‘memanusiakan manusia’ ini di Rutan Kelas IIB Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah.

Tindak tanduk Kepada Rutan Kuala Kapuas Daniel Kristianto yang baru lima bulan ini jadi ‘ketua gang’ memperdalam lagi empati penulis kepada para WBP yang sampai hari ini berupaya memperbaiki diri.

Menilai niat dan corak pikir Daniel dari upayanya membangun ruang ekonomi kreatif sampai merogoh kocek sendiri untuk galari seni, sablon baju dan bengkel motor custom. Cukup berdasar, jika penulis ini memiliki dugaan Daniel lelaki berotot yang terkesan cuek itu menyembunyikan rasa kepedulian yang dalam terhadap nasib WBP di lingkungannya.

Ada cerita menarik dari seorang WBP Rutan Kuala Kapuas ini. Mubajir jika hanya dipendam. Namanya Normansyah (41) sudah dua tahun mendekam di penjara. Ia adalah salah satu putra daerah di Kabupaten Kapuas.

Normansyah yang memiliki bakat seni lukis ini mengaku bisa menyalurkan kreativitasnya setiap waktu dari pukul 08:00 sampai sore (masuk kamar). Hal demikian, tersalur berkat inisiatif Daniel yang menyulap gudang angker jadi ruang kreatif.

Karena bakat dan kemauan Normansyah kuat. Ia bersama satu orang WBP lain Kambir (31) dipercaya menjadi juru kunci ruangan itu.

Selain untuk tempat melukis dan pembuatan souvenir. Kepala Rutan juga menyediakan fasilitas dan alat profesional untuk sablon baju, sumber dananya dari kantong pribadi. Niatnya untuk membuka peluang ekonomi untuk para WBP.

Sementara, sembari latihan dan membuka pasar.  Usaha sablon ini hanya produksi untuk kebutuhan ‘dalam negeri’ atau hanya untuk memenuhi kebutuhan di lingkungan Rutan Kuala Kapuas.

“Bakat kita tersalur. Kepala Rutan yang ada ini asik orangnya. Juga kalau ada apa apa, misalnya aspirasi langsung ditanggapi beliau,” ungkapnya.

Menakar situasi. Sepertinya ini adalah cara Kepala Rutan Kuala Kapuas untuk mengelola suasana emosional WBP agar di dalam penjara tak hanya sebagai tempat pertapaan yang suram. Selain kebahagiaan, peluang terbentuknya skill untuk mendulang rupiah juga didapatkan di sini.

Butuh perhatian, dari kacamata bisnis. Rasanya banyak cara untuk membantu membangun WBP ini menjadi manusia manusia hebat. Juga, sangat terbuka lebar bagi entitas apa pun untuk bergabung : pemerintah bahkan swasta.

Misalnya, usaha sablon di Rutan Kuala Kapuas yang kita simak ini. Pemerintah atau swasta setempat sebenarnya bisa saja ikut andil dalam upaya pemberdayaan ini : untuk kebutuhan seragam pakaian untuk kegiatan tertentu pesan saja di sana. Toh, dominasi penghuni rumah tahanan adalah warga Kabupaten Kapuas.

Rasanya, tak ada salahnya membantu mereka. Yang masuk penjara itu kebanyakan berasal dari luar. Yang di dalam setelah keluar hanya sedikit yang berulah kembali. Maka, kita harus “adil sejak dalam pikiran” jika menilai WPB yang hari ini berproses menjadi manusia yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *