
Mahasiswi Manajemen Pemasaran Internasional semester 2, Politeknik Hasnur.
BANJARMASIN – Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah merencanakan pengalihan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, yang dikenal dengan nama Ibu Kota Nusantara (IKN).
Proyek ini dianggap sebagai solusi untuk permasalahan yang dialami Jakarta dan sekaligus sebagai simbol pemerataan pembangunan.
Namun, di balik narasi mengenai kemajuan itu, muncul sebuah pertanyaan krusial: apakah pembangunan IKN benar-benar mewakili nilai-nilai Pancasila, atau justru mengabaikan masyarakat setempat dan menciptakan ketidakadilan baru?
Pembangunan IKN dalam Bingkai Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara memuat nilai-nilai utama yang seharusnya menjadi landasan kebijakan negara, termasuk proyek strategis nasional seperti IKN. Beberapa sila yang paling relevan terhadap isu ini adalah:
• Sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi setiap individu, termasuk hak-hak masyarakat adat atas tanah dan cara hidup mereka yang telah diwariskan turun-temurun. Dalam konteks pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), hal ini berarti pemerintah perlu memastikan bahwa suara dan hak masyarakat lokal benar-benar dihargai, bukan justru terabaikan demi ambisi pembangunan.
• Sementara itu, sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengingatkan kita bahwa pembangunan seharusnya membawa manfaat yang adil dan merata bagi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang wilayah. Pembangunan IKN idealnya tidak hanya berpusat pada kemegahan fisik ibu kota baru, tetapi juga mencerminkan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan yang nyata di seluruh penjuru negeri.
Namun, implementasi pembangunan IKN menuai kritik karena adanya indikasi pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut.
Rakyat yang Terpinggirkan: Potret Konflik Sosial dan Agraria
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa pembangunan IKN berpotensi memicu konflik agraria baru yang melibatkan masyarakat adat Paser dan Dayak. Proses pembebasan lahan untuk proyek ini dinilai belum sepenuhnya transparan dan partisipatif. Laporan Betahita (2024) mencatat bahwa terjadi 2. 939 sengketa lahan telah terjadi selama dua periode kepemimpinan Jokowi, dengan mayoritas terkait dengan proyek-proyek yang dianggap penting bagi negara, termasuk Ibu Kota Negara.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal sering kali menjadi korban pembangunan, bukan penerima manfaatnya. Ironisnya, dalam cerita mengenai pembangunan IKN, masyarakat itu hanya bertindak sebagai “penonton” dan tidak diikutsertakan dalam tahap perencanaan ataupun pengambilan keputusan.
Pancasila dan Keadilan Sosial: Retorika atau Realita
Pemerintah menyatakan bahwa pembangunan IKN bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan. Namun, jika dianalisis dengan lebih teliti, pembangunan ini lebih menunjukkan rencana ekonomi dan investasi, daripada usaha yang sesungguhnya untuk mencapai pemerataan kesejahteraan. Hal ini bertentangan dengan substansi sila ke-5, yang menuntut keadilan ekonomi dan sosial yang inklusif.
Selain itu, pembangunan yang merugikan masyarakat lokal dan lingkungan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan (sila kedua) serta prinsip musyawarah yang mengedepankan kesepakatan (sila keempat) yang menghargai partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Kesimpulan
Proyek Ibu Kota Nusantara memang dapat dilihat sebagai simbol kemajuan, tetapi tidak dapat dilepaskan dari kritik mengenai peminggiran masyarakat lokal dan potensi ketimpangan sosial baru. Nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-2 dan ke-5, menjadi tolok ukur penting untuk mengoreksi arah pembangunan ini.
Tanpa keberpihakan pada rakyat kecil dan masyarakat adat, IKN hanya akan menjadi megaproyek yang meninggalkan luka sosial di tanah Borneo.
Agar IKN sejalan dengan nilai luhur bangsa, negara harus memastikan bahwa hak masyarakat adat dihormati, proses pembangunan berlangsung secara berkeadilan dan partisipatif, serta lingkungan hidup dilindungi. Tanpa itu, Pancasila hanya akan menjadi slogan kosong di tengah euforia pembangunan.