
Tapin – Electronic dance music (EDM) yang dipandu DJ masuk dalam rangkaian acara hiburan kelulusan angkatan 2025 SMKN 1 Tapin Selatan dipandang atau dinilai tak pantas oleh sejumlah kalangan publik. Kini, perihal itu diributkan.
Kepala SMKN 1 Tapin Selatan Edi Suhariyono memberikan tanggapan terkait kegaduhan yang menyoroti video suasana dan rangakaian isi perayaan kelulusan siswa angkatan 2025 pada Kamis (8/5) lalu.
“Jelas, kita akan bertanggung jawab apabila memang dalam perayaan tersebut melanggar hukum ataupun norma sosial masyarakat,” ujar Edi melalui siaran pers, Senin (26/5).
Edi menanggapi kontroversi negatif dari masyarakat di sosial media yang dijaring dan dipublikasikan sejumlah media pers baru ini. Konteks isu yang diributkan ada dua : musik dan saweran.
“Terkait musik saya kira itu hal yang lumrah saja. Musik yang dibawakan DJ juga sah-sah saja pada kalangan pendengar-penikmat musik di Indonesia. Lalu, terkait saweran itu saya akui di luar dari konsep, mereka terbawa suasana. Jika itu salah, saya selaku Kepala Sekolah meminta maaf dan ke depan tak akan membiarkan itu terjadi lagi,” terangnya.
Ia menjamin tak ada minuman keras, narkoba atau pun barang-barang yang melanggar hukum positif pada gelaran acara pengukuhan sekaligus kelulusan angkatan 2025.
Edi mengatakan semua rangkaian perayaan kelulusan itu memang diakomodir di lingkungan sekolah. Alasannya, sederhana : menciptakan momentum dan emosional antara sekolah dan para alumni.
“Kita tak ingin saat perayaan para siswa yang lulus melakukan hal-hal negatif yang menggangu masyarakat umum,” ujarnya.
Konteks mengganggu masyarakat umum ini, misalnya konvoi di jalan raya ataupun merusak dengan cara mencoret fasilitas umum. Seperti, trend kelulusan era lama.
“Saya rasa, rangakaian acara pada kelulusan angkatan 2025 ini berjalan lancar, aman dan tertib. Dalam artian terkontrol,” ungkapnya.

Selebihnya, Edi menyayangkan dengan pemberitaan dari media pers yang tak mengonfirmasi langsung kepada pihak sekolah perihal kontroversi itu. Sehingga potensi menimbulkan tafsir yang negatif bagi pembaca.
“Tak ada konfirmasi. Jadi kami merasa dirugikan. Sehingga kami tak bisa menjelaskan perihal peristiwa yang diributkan. Mereka langsung konfirmasi ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan yang tidak tahu kondisi dilapangan,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan ada media yang tak utuh menyampaikan informasi saat diberikan keterangan oleh pihak SMKN 1 Tapin Selatan.
Edi menjelaskan pelaksanaan kegiatan pengukuhan sekaligus kelulusan angkatan 2025 yang diselenggarakan itu. Ia bilang, kepanitiaan untuk acara khusus perpisahan melibatkan siswa angkatan 2025. Termasuk hiburan penutup yakni EDM yang dipandu DJ laki-laki itu.
” Untuk DJ ini awalnya sudah ditolak oleh kami para guru. Namun, para siswa memohon sampai lima kali, akhirnya kami setuju tapi dengan syarat tertentu,” ujar Edi.
Syarat itu diantaranya : durasi satu jam, dilaksanakan siang hari, di dalam lingkungan sekolah, berpakaian sopan dan tak anarkis.
“Nah, jika syarat itu dilanggar. Para siswa setuju untuk dibubarkan,” jelasnya.
Alumni : Jangan Pakai Logika Negatif

Seorang Alumni (2013) Jurusan Teknik Komputer & Jaringan (TKJ) Muhammad Fauzi Fadilah memberikan argumentasi yang membela pihak SMKN 1 Tapin Selatan.
Ia langsung saja menjurus terhadap konteks yang dipermasalahkan di ruang media sosial seperti yang dituliskan sejumlah media pers.
“Saya rasa, netizen tak tepat jika yang dipermasalahkan terkait genre electronic dance music yang dipandu oleh Disc Jockey. Itu adalah seni modern yang hari ini berkembang pesat sampai ke daerah. Banyak, penikmatnya,” ujar lelaki yang berprofesi sebagai jurnalis ini.
Fauzi tak sepenuhnya menyalahkan prespektif masyarakat yang memandang musik ini negatif. Mengingat, secara umum ruang untuk musik ini dipandang lekat dengan unsur negatif menurut norma sosial sebagian daerah, terlebih di Kalimantan Selatan.
“Menyikapi gelaran acara di SMKN 1 Tapin Selatan. Saya rasa harus dipandang pakai logika yang positif. Kalau pakai logika negatif ya seakan-seakan perayaan kelulusan di sekolah saya ini telah melanggar dosa besar,” ucapnya.
“Terkait sawer menyawer. Mungkin itu hanya bentuk ekspresi yang terlampau senang. Sangka baik aja, itu adalah hadiah kepada sang penghibur. Seperti karya tulis yang bagus dan mendapatkan bayaran. Atau seperti penyayi yang membawakan lagu bergenre lainnya,” ujarnya.
“Nyawer, kenapa dipandang negatif, mungkin karena melihat dari kebiasaan di ruang negatif : ‘nyawer‘ kelancaran proyek haram misalnya,” sambung pegiat seni budaya daerah ini.

Selebihnya, Fauzi memberikan apresiasi terhadap pihak sekolah karena telah mengakomodir para siswa angkatan 2025 menuangkan ekspresi yang aman dan nyaman.
“Perayaan inikan di sekolah ya. Bukan di tempat hiburan malam atau tempat-tempat yang tak pantas bagi pelajar. Lanjutkan saja, tahun depan bikin yang lebih meriah untuk menciptakan kenangan tak lekang waktu dan rasa solidaritas antarsiswa maupun dengan sekolah,” ujarnya.
Akademisi Komunikasi Angkat Bicara

Akademisi Bidang Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Ahmad Bayu Chandrabuwono, S.Ikom., MA angkat bicara menyoal peristiwa yang dinilai merugikan SMKN 1 Tapin Selatan. Ia sepakat musik EDM tak harus dipermasalahkan.
“Tidak ada yang salah dengan event bernuansa DJ tersebut selagi dalam koridor batas-batas etik dan norma. Yang jadi masalah adalah soal streotip yang menganggap musik tersebut mengundang hal negatif,” ujarnya.
Ia bilang kemajuan pesat teknologi menjadi penyebab pergeseran – pergeseran terjadi seperti pada budaya saat ini, yang kian bergeser sehingga cepat viral kadang rentan salah tafsir di media sosial. Terlebih, pesatnya arus informasi interaktif dari platform hari ini : seperti Tiktok – Instagram.
“Itulah menjadi salah satu faktor kuat yang melatarbelakangi generasi sekarang membuat event seperti yang bernuansa DJ. Genre musik ini memang lagi booming,” ucap pemerhati bidang komunikasi ini.
Bayu juga menyoroti fenomena “saweran” yang sering diartikan negatif dalam konteks tertentu. Sejatinya, ini adalah praktik tradisional dalam budaya. “Di mana masyarakat memberi penghargaan secara spontan kepada seniman panggung sebagai bentuk apresiasi,” lanjutnya.
Maka dari itu, ia berpesan agar publik tak terjebak pada tafsir tunggal yang sempit. Melainkan melihat dari sudut keberagaman budaya yang dinamis.
“Mari kita rangkul perbedaan ini sebagai peluang untuk saling belajar, bukan saling menyalahkan. Karena pada akhirnya, pendidikan terbaik adalah yang mampu menghubungkan masa lalu, memahami masa kini, dan menyiapkan masa depan,” terangnya.
Penulis, Fadilah