Jakarta, sabanua.com – International Labour Organization atau Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar webinar media dengan tema Wajah Perempuan di Perkebunan Sawit dan Perikanan pada Kamis (10/3). Webinar ini digelar dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional.
Lusiana Julia, Staf Program ILO memaparkan, sektor pertanian dan perikanan di Indonesia menjadi sumber mata pencaharian bagi lebih dari 38 juta pekerja. Jumlah itu, kata dia, hampir 30 persen dari total penduduk yang bekerja.
“Perempuan memainkan peran sangat penting yakni (perempuan) terlibat dalam dua sektor itu. Perempuan tak lepas dari sektor produksi, entah panen atau pembungkusan,” ujarnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia pada 2010, perempuan yang bekerja di sektor-sektor tersebut berjumlah sekitar 13,79 juta orang. Jumlah itu mewakili 36 persen dari total jumlah pekerja yang bekerja di sektor-sektor tersebut.
Menurut Julia, para pekerja perempuan di sektor tersebut kerap dipandang sebelah mata. Mereka hanya dianggap pelengkap saja sehingga tidak mendapatkan hak.
“Banyak peran penting yang dilakukan oleh perempuan di sektor tersebut. Namun, mereka tak mendapat hak yang seharusnya. Seperti tidak adanya kontrak kerja. Mereka hanya dianggap membantu saja, membantu suami atau keluarga,” jelasnya.
Kemudian lokasi sektor pertanian dan perkebunan kelapa sawit yang rata-rata di pedalaman membuat para pekerja perempuan ini minim mendapat akses informasi. Terutama soal hak yang seharusnya didapatkan.
“Tidak mendapat akses informasi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Mereka (pekerja perempuan) sangat butuh perlindungan ketenagakerjaan karena Jumlah pengawasan sangat sedikit,” kata Julia.
Julia menjelaskan permasalahan umum di sektor kelapa sawit dan perikanan di antaranya praktik hubungan kerja tidak standar, upah rendah dan pelanggaran upah. Lalu, kondisi kerja yang tidak aman dan sangat berbahaya, nilai partisipasi perempuan dan kontribusinya kurang diperhatikan.
“Kesadaran yang rendah tentang gender, K3 dan standar ketenagakerjaan, hak berserikat dan berunding yang terbatas,” katanya.
Kemudian, jumlah pengawas ketenagakerjaan terbatas, koordinasi yang lemah di antara otoritas berwenang dan kurangnya transparansi hubungan kerja dan kondisi kerja yang kondusif. Tak hanya itu, terbatasnya peluang akses ke pasar internasional di mana kepatuhan pada peraturan dan standar ketenagakerjaan adalah kriteria untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas.
ILO, ujar Julia, ingin mengedepankan hak untuk para pekerja perempuan di dua sektor industri tersebut. Terutama di Indonesia dan Filipina. Sehingga dua negara ini dapat berkoordinasi dalam menjalankan misi tersebut.
“Sehingga ada peningkatan kepatuhan untuk isu kesetaraan gender. Harus jadi perhatian bersama. Karena akan saling menguntungkan pengusaha dan pekerja,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan oleh Anis Hidayah, Pendiri dan Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant Care Ia menilai, suasana kerja di dua sektor industri itu menyeramkan bagi perempuan. Hal itu merujuk banyak artikel investigasi.
“Kondisi sangat tidak layak untuk pekerja perempuan di dua sektor itu. Mereka lahir batin mendapat diskriminasi. Pemerintah atau perusahaan tampak lambat merespons itu,” ungkapnya.
Tak hanya tentang kesehatan dan keselamatan kerja saja. Para pekerja perempuan ini rentan terhadap kekerasan seksual. Banyak kasus yang terjadi. Kendati banyak korban yang enggan melaporkan disebabkan minimnya akses hukum dan ketakutan secara personal.
“Ancaman soal pelecehan seksual terjadi dan itu nyata. ILO mendorong ini agar tak terjadi dan diatasi, mungkin nanti bisa bekerja sama,” tutur Anis.
Kata Anis, kondisi kejadian dua industri ini sama saja seperti perbudakan modern. Namun, pemerintah kerap kali abai dengan kondisi para pekerja perempuan di dua sektor tersebut.
“Komitmen sangat rendah. Dari sisi pemerintah penting mempertanyakan. Kalo bertahun-tahun, sejak permasalahan sering terjadi. Ini harus ada afirmasi,” tegasnya.
Dia berharap semua elemen dapat membantu untuk mendorong agar hak-hak para pekerja perempuan itu diperoleh. Sebab, menurut riset banyak terjadi eksploitasi dan perbudakan.
“Terkait masalah itu pekerjaan rumah kita masih banyak sekali. Kampanye sangat penting,” katanya.
Peneliti Masalah Ketenagakerjaan Universitas Parahyangan Bandung, Indrasari Tjandraningsih menjelaskan jumlah pekerja antara perempuan dan laki-laki sebenarnya imbang. Namun demikian, peran pekerja perempuan ini tidak terlihat.
“Peran pekerja perempuan nggak kelihatan, itu aneh banget. Kita angkat visibility perempuan sebagai pekerja,” katanya.
Kata dia, secara demografis usia pekerja di dua sektor itu berkisar 6 hingga 60 tahun baik perempuan maupun laki-laki. Lalu tingkat pendidikan rendah mulai dari tak bersekolah, tingkat SD dan SMP.
Karena bersifat tak terlihat, pekerja perempuan ini tak mendapat hak atau upah yang layak. Mereka bekerja, tetapi tak dicatat sebagai pekerja.
“Upah Rp20-40 ribu per hari selama 8 jam atau lebih. Kemudian, mereka hadapi masalah yang berkaitan dengan K3. Karena sifatnya yang invisible itu, jauh dari jamsos yang disediakan pemerintah,” katanya.
Pekerja perempuan di dua sektor itu, kata Indasari, juga minim pengetahuan. Mereka tak mengetahui hak apa saja yang seharusnya diterima sebagai seorang pekerja. Yang mereka tahu hanyalah bekerja untuk menghidupi keluarga.
“Banyak contoh eksploitasi pekerja perempuan. Perlakuan berbeda mereka dapat antara pekerja perempuan dan laki-laki,” ungkapnya.
Menurut data BPS (2020) terkait statistik kesenjangan upah secara gender, upah yang diperoleh pekerja perempuan lebih rendah bila dibandingkan laki-laki. Contohnya, kesenjangan upah secara gender untuk tingkat SD hasilnya 40 persen pada 2020.
“Upah laki-laki lulusan SD lebih besar 40 persen dibandingkan dengan perempuan dengan tingkat pendidikan sama,” katanya.
Dia menegaskan semua elemen harus bertindak mengatasi fenomena ini. Sehingga, para pekerja perempuan mendapat haknya sebagaimana yang dijamin negara.
Eksistensi pekerja perempuan itu nyata dan menguntungkan perusahaan dan pemerintah. Indrasari berujar, seharusnya para perempuan mendapat keuntungan dari keuntungan yang didapat oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan.
“Perempuan punya hak penting, maka harus diberikan kesetaraan,” pungkasnya. (SB07)